Header Ads Widget


 

Bripka Sopan Tewas Tak Wajar, Praktisi Hukum Pertanyakan Dugaan SP3 oleh Polisi



KABARPESISIR.CO.ID, DUMAI – Misteri kematian Bripka Sopan Sembiring pada 10 April 2025 lalu di teras Dream Box Cafe & Resto, Kota Dumai, hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar. Ditemukan dalam kondisi mulut berbusa dan bersandar tak bernyawa, keluarga menilai kematian anggota Polres Dumai tersebut janggal dan tidak wajar.

Istri almarhum, Febri Jolizah Ginting, menyebut suaminya tidak memiliki riwayat penyakit serius sebelumnya. Dalam keterangannya yang dikutip dari media arbiter.com, Sabtu (17/5/2025), Febri mengaku telah berulang kali mendatangi Polres Dumai untuk menanyakan perkembangan kasus, namun tak kunjung mendapat kejelasan.

Kecurigaan keluarga semakin menguat setelah hasil visum dari dokter menunjukkan adanya sejumlah luka lebam di tubuh almarhum, termasuk di bagian leher, dada, tangan, dan punggung. Tak hanya itu, busa bercampur darah turut ditemukan di area mulut korban.

Atas temuan tersebut, pihak keluarga melaporkan dugaan kelalaian yang mengakibatkan kematian ke Polres Dumai di hari yang sama, dengan nomor laporan: LP/B/72/IV/2025/SPKT/POLRES DUMAI/POLDA RIAU. Laporan ini mengacu pada Pasal 359 KUHP.

Namun demikian, hingga 11 hari setelah laporan dibuat, keluarga menyayangkan tidak adanya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang diberikan penyidik. Saat menanyakan perkembangan secara langsung, keluarga tidak mendapatkan penjelasan memadai. Bahkan, permintaan untuk melihat rekaman CCTV dari lokasi kejadian ditolak dengan alasan hanya bisa dibuka di persidangan.

Minimnya informasi dan senyapnya penanganan kasus tersebut turut disorot oleh praktisi hukum Johanda Saputra. Ia menilai penanganan yang terkesan tertutup justru menimbulkan spekulasi publik.

"Saya menduga kasus ini sudah dihentikan melalui SP3, dan laporan telah dicabut oleh pihak pelapor," ujar Johanda Saputra, advokat muda yang juga menangani sejumlah perkara publik di Dumai, Sabtu (21/6/2025).

Johanda menjelaskan bahwa Pasal 359 KUHP merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, proses hukum tetap dapat berjalan meski telah terjadi perdamaian atau pencabutan laporan oleh keluarga korban.

"SP3 atau penghentian penyidikan hanya bisa dikeluarkan penyidik apabila memenuhi salah satu dari tiga alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu tidak cukup bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau demi hukum, seperti karena pelaku meninggal dunia atau perkara kedaluwarsa," paparnya.

Ia menegaskan, perdamaian antara pelapor dan terlapor tidak serta-merta menjadi dasar hukum untuk menghentikan penyidikan dalam kasus kelalaian yang mengakibatkan kematian.

“Perdamaian bisa menjadi faktor yang meringankan saat persidangan, tetapi tidak menghapus tindak pidana. Dalam konteks Pasal 359, pencabutan laporan oleh keluarga tidak menghentikan proses hukum yang sudah berjalan,” tambahnya.

Johanda juga menyoroti praktik di lapangan yang kerap kali berbeda. “Dalam sejumlah kasus, meski tak ada penghentian resmi, penyidikan tidak dilanjutkan secara aktif oleh penyidik. Ini yang menimbulkan kekhawatiran publik akan adanya diskriminasi hukum.”

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Polres Dumai maupun Polda Riau mengenai status penanganan kasus tersebut, termasuk soal penetapan tersangka. Enam anggota polisi yang sempat diperiksa terkait kasus ini juga disebut tidak dilanjutkan proses hukumnya, meski sempat dilimpahkan ke Polda Riau.

Johanda mendesak institusi Polri, khususnya Polres Dumai, untuk lebih transparan dan akuntabel dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggotanya sendiri.

"Publik berhak tahu perkembangan dan alasan di balik setiap keputusan hukum yang diambil. Jangan sampai ada kesan bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum," pungkasnya.*** 

Penulis: Edriwan


Posting Komentar

0 Komentar